Salam Di Negri Singa

SALAM DI NEGRI SINGA


Soekarno-Hatta Airport, 26 April 2017, dini hari.

Kami tahu, kami berkejaran dengan matahari sejak tengah malam tadi. Tapi petugas di loket check in masih belum juga memperbolehkan kami untuk sekadar ber- say hallo selamat pagi. Sudah ada antrian, tapi untuk tujuan yang berbeda.
Ini memang akan menjadi perjalanan yang tidak biasa bagi saya. Menuju negara yang sering diceritakan sebagai negara yang rapi, tertib, dan bersih, seorang diri tanpa keluarga. Perjalanan solo bagi seorang ibu dari anak kecil tanpa pengasuh adalah sebuah kemewahan. Karena kemanapun melangkah selalu ada langkah kecil yang mengiringi. Maka ketika kabar perjalanan ini sampai, hal pertama yang hinggap di kepala adalah izin “Sang Komandan”. Awalnya, saya pikir proses negosiasi akan berjalan alot. Namun di luar dugaan, izin dikantongi dengan mudah. Suami hanya mewanti-wanti untuk mempersiapkan segala keperluan anak sebelum berangkat, termasuk siapa yang akan mengantar-jemput anak di sekolah. Semua sudah saya rencanakan, sudah saya persiapkan sedetail-detailnya sehingga negosiasi tidak memakan waktu lama. Yes! It’s me time. Mendadak suami jadi jauuuh lebih ganteng dari pada aktor-aktor Korea. Jiaahh!
Karena belum diperbolehkan check in, akhirnya kami langsung melakukan breafing sambil lesehan di lantai. Duduk santai seperti di pantai, tepat di depan antrian loket check in. Kami ber-11. Ya, ini memang bukan perjalanan yang solo-solo amat. Yaiyalah! sebelas orang, catat! Namun solo bagi saya karena biasanya saya, suami, dan anak adalah satu paket yang tidak bisa dipisah, di luar perjalanan dinas suami tentu saja.
Misi kami ke Singapura adalah untuk mempelajari travelingn writing. Dipandu Kang Gong, panggilan saya untuk Gol A Gong, perjalanan ini HARUS menghasilkan sebuah catatan perjalanan. Belakangan, saya baru menyadari ternyata tidak mudah untuk membuat sebuah catatan perjalanan yang menarik dan fokus pada satu hal.
            Tak lazim memang yang kami lakukan ini. Duduk selonjoran di bandara, berkumpul membicarakan apa yang akan kami hadapi di sana, bagaimana mengumpulkan serpihan-serpihan pengalaman menjadi sebuah catatan, memilahnya hingga hanya fokus pada satu hal, kemudian mengolahnya menjadi sebuah tulisan menarik. Sesekali tawa meledak diantara kami. Kami abaikan orang-orang yang memandang dengan asing.
            Ketika tulisan layar monitor di atas loket chech in menuliskan negara tujuan kami, dengan segera kami mengantri. Ada kejadian kecil yang sebetulnya bisa berakibat fatal. Ketika petugas bandara menanyakan apakah ada barang yang akan disimpan di bagasi, dengan segera saya “iya” kan, kemudian menyodorkan ransel yang sedari tadi nemplok di punggung. “Lumayaaan...” pikir saya merasa sedikit terbebas dari beban. Petugas tersebut lalu melingkarkan kertas berwarna kuning di tali atas ransel. Merasa sudah selesai, saya tinggalkan loket tersebut dan berdiri di belakang antrian menunggu rombongan selesai check in. Namun tidak lama petugas menghampiri saya dengan wajah ketus.
“Ini tas siapa? Kalau hilang bagaimana?”
“Loh, bukannya tadi saya bilang ini untuk di bagasi.” Balas saya cepat.
“Ini kan saya tempeli kertas kuning, artinya dibawa ke kabin.” Masih dengan wajah ketusnya.
“Kan tadi saya bilang untuk di bagasi.” Saya pun tetap keukeuh.
Akhirnya saya kembali ke loket check ini dan mengganti label kuning di ransel menjadi putih, untuk bagasi.
“Sudah selesai kan, Mba?” Tanya saya memastikan. Petugas tersebut mengangguk, masih tanpa senyum. Selama ini, setiap perjalanan yang saya lakukan, urusan check in, barang-barang, dll memang selalu suami yang mengurus. Oke, fix! Saya newbe dalam perjalanan ini.

Changi Airport, 26 April 2017, sekitar pukul 08.30 waktu Singapura

            Perjalanan bukan soal pergi ke tempat-tempat paling asing di bumi. Kunci sebuah perjalanan adalah refleksi. Kalimat-kalimat itu saya dapat dari sebuah blog, tapi lupa milik siapa. Kalimat itu terus berputar-putar di kepala saya selama perjalanan Jakarta – Singapura. Kali pertama menginjakkan kaki di Singapura, kesan pertama adalah bersih. Bandara internasional adalah gerbang suatu negara. Melihat Changi begitu cantik, bersih, ditunjang dengan fasilitas-fasilitas yang memanjakan pengunjungnya, maka pantaslah jika digadang-gadang sebagai bandara internasional terbaik di dunia.
            Keluar dari Changi, setelah mengurus segala urusan imigrasi dan sebagainya, termasuk mencari simcard untuk ponsel supaya tetap terhubung dengan suami dan anak, saya dan rombongan segera menuju stasiun MRT untuk selanjutnya beristirahat di penginapan. Kami menginap di sekitaran Masjid Sultan, dekat Kampung Arab atau Kampung Glam. Tempat yang cukup mudah untuk mendapatkan makanan halal. Menjelang sore, barulah kami naik bus menuju ikon Singapura, Merlion. Kata orang, belumlah sampai ke Singapura jika tidak berfoto dengan patung singa berbadan ikan tersebut.
            Baik saat menggunakan MRT maupun bus terintregasi, kami mengakui jika transportasi umum di negara ini terasa nyaman. Meski harus banyak berjalan kaki untuk sampai ke stasiun atau shelter bus, semua terbayar dengan kenyamanan di jalanan. Berdiri sedikit saat kursi penumpang terisi penuh tidak apa-apalah. Tak ada angkot, metromini, ojek, atau sepeda motor pribadi. Jalanan bersih, rapi, dan tanpa macet. Sesekali sepeda motor melintas, semuanya memiliki box di belakang joknya. Belakangan saya ketahui jika sepeda motor hanya digunakan untuk jasa layan antar makanan dan sejenisnya. Dan kerennya, pejalan kaki cukup dihormati.
            Saat di sebuah blok, teman seperjalanan saya sempat menyeberang jalan lenggang kangkung tanpa lihat kanan kiri. Ajaib, mobil yang melintas langsung berhenti, padahal jaraknya masih jauh. Di lain kesempatan, saya iseng memijit tombol untuk menyalakan lampu hijau penyeberang jalan. Padahal saya dan rombongan hanya berjalan di trotoar dan tidak ada niat menyeberang jalan. Ketika lampu lalu lintas bergambar orang menyala hijau, kendaraan langsung berhenti. Saya yakin, mereka tahu tidak ada pejalan yang menyeberang jalan, karena rombongan kami jelas-jelas berjalan lurus di trotoar. Hebatnya lagi, saat itu jalanan sepi, dan tidak ada polisi lalu lintas.
            Mengenai fasilitas menyeberang, sebagai pejalan kaki, saya merasa dimanjakan. Maklum, bagi saya menyeberang artinya berlindung di balik badan suami. Tidak sulit menemukan zebra cross lengkap dengan lampu lalu lintas bagi pejalan kaki. Di pertigaan, perempatan, jalan lurus, dengan mudah bisa ditemui.
Sempat terlintas untuk fokus menuliskan tentang transportasi umum dan fasilitas jalan raya di Singapura. Namun ketika melihat setiap antrian di segala lini, saya kembali gamang. Mengantri menjadi tema yang cukup seksi untuk diangkat. Kang Gong sempat memberikan pengarahan, bahwa dalam sebuah catatan perjalanan, agak tabu jika membanding-bandingkan apalagi menjelekkan tempat asal penulis hanya karena mendapat sesuatu yang lebih bagus di tempat yang dikunjunginya. Bagaimanapun, catatan perjalanan adalah sebuah refleksi.
Di warung makan, di shelter bus, di stasiun MRT, semua orang mengantri. Satu kali pun saya tidak melihat ada seseorang yang menyerobot antrian. Di beberapa kesempatan saya bertemu dengan rombongan pelajar anak-anak dan remaja. Dengan penuh kesadaran mereka mengantri. Saat tidak mau mengantri, mereka duduk atau berdiri terpisah dari antrian, kemudian masuk paling akhir ketika antrian habis.
Saya pikir, bersih, rapi, dan tertibnya Singapura adalah tentang budaya pembiasaan. Ala bisa karena biasa. Kesadaran itu sepertinya telah tertanam dalam diri mereka sejak dini. Saya tidak menapikan sempat menemui toilet agak berkerak, bau di pasar, seorang kakek sakit batuk meludah di dalam bus, dan satu kali melihat sampah makanan di bawah jok bus. Tapi secara keseluruhan, sebagian besar tempat yang saya kunjungi berlabel bersih dan tertib.
Bersih, tertib, dan rapi menjadi sorotan saya saat itu. Sekali lagi, saya pikir ini adalah tentang budaya pembiasaan. Tapi hati saya berbisik, bagaimana dengan sosial personalnya? Sejak mendarat di Changi Airport, satu kali pun saya belum melihat senyuman, orang-orang mengobrol hal remeh temeh, atau saling sapa untuk basa-basi. Bahkan di dalam bus atau MRT, jarang ditemui seseorang sedang mengobrol, apalagi dengan suara lantang, terlebih dengan orang yang baru dikenal. Rombongan kami berseloroh, bahwa tidak ada orang “nyablak” di Singapura. Setiap orang seolah sibuk dengan dirinya masing-masing.
Ya, setiap orang seolah sibuk dengan dirinya masing-masing. Hingga saya bertemu dengan Dani Shaufiee, siswa kelas empat Qifa Primary School.
Di hari kedua perjalanan kami, Kang Gong mengajak rombongan ke Pusat Kebudayaan Melayu. Sebelum berkeliling di sana, seperti biasa kami berfoto-foto cantik. Kemudian tepat di samping gerbang, kami duduk lesehan sambil membahas perkembangan tulisan masing-masing. Berkisar hanya beberapa menit setelah kami duduk, seorang petugas menghampiri dan menyarankan untuk pindah ke gazebo di sudut taman. Jadilah kami membahas ide-ide yang bermunculan di kepala selama perjalanan ini.
Lain kepala lain pemikiran. Begitulah kami asik mendiskusikan beberapa poin yang akan menjadi fokus tulisan. Padahal sampai saat itu saya belum bisa fokus pada satu hal. Begitu banyak yang ingin saya tulis. Tapi hidup adalah pilihan. Saya harus memilih topik. Aiihh!
Saat asik berdiskusi itulah tiba-tiba serombongan anak-anak usia SD masuk dari arah gerbang. Mereka berbaris rapi menuju pojokkan, bersebelahan dengan gazebo. Perhatian saya teralihkan. Saya hitung semuanya sekitar 28 anak dengan 1 orang guru utama dan 2 orang guru pendamping. Setiap anak mengalungkan sebuah tablet di lehernya. Hal itu cukup mengundang penasaran saya.
Guru utama berdiri pada sebuah pijakan tinggi di depan barisan. Menjelaskan tentang berbagai jenis tanaman yang aromanya berfungsi sebagai pengusir nyamuk. Lantas anak-anak dipersilakan membuka tabletnya dengan bimbingan guru setahap demi setahap, mencari gambar-gambar tanaman yang dimaksud. Di akhir penjelasan, guru mempersilakan siswanya untuk memotret tanaman pengusir nyamuk yang banyak ditanam di sekitar gazebo, lengkap dengan tulisan nama tanaman, baik nama lokal maupun nama ilmiahnya. Semua dilakukan dengan tertib.
Ketika asik memperhatikan rombongan itulah tiba-tiba salah seorang dari mereka menyapa saya. “Assalamu’alaikum, Miss!” sapanya sopan. Saya tersenyum dan membalas salamnya. Seorang anak laki-laki bertopi biru, bermata sipit, berkulit sawo matang. Saya memperkirakan ia keturunan campuran antara Cina dan Melayu. Ia melintas di depan saya. Memperhatikan tanaman yang ada di depannya, mencocokkan dengan gambar yang ada di tabletnya. Ingin rasanya saya mengobrol dengannya saat itu. Tapi saya tidak tega demi melihat anak lelaki itu tengah sibuk melakukan tugasnya. Saya perhatikan papan nama yang menempel di bajunya: Dani Shaufiee.
Di saat saya merindukan senyum sejak penerbangan dari Jakarta menuju Singapura, sapaan Dani barusan menjadi momen dramatis yang nyaris sempurna. Beruntung bagi saya, keinginan untuk mengobrol dengan anak lelaki tersebut terlaksana saat kami berpapasan di depan toilet. Percakapan yang singkat sebetulnya. Hanya menanyakan kelas berapa, sekolah dimana, apa yang sedang dilakukan bersama gurunya, dan pertanyaan standar lainnya. Dari percakapan itu saya jadi tahu kalau tablet yang mereka bawa adalah fasilitas dari sekolah. Wah, keren!
Pertemuan singkat dengan Dani melebihi kekaguman saya pada gedung Esplanade. Saya melihat bagaimana ia dan teman-temannya tertib di barisan, mendengarkan penjelasan guru dengan cermat, berdiskusi dengan sesama siswa tentang pelajaran yang diberikan, tanpa menanggalkan kesan asli kekanakan mereka. Akhirnya saya mantap memfokuskan pada budaya tertib penduduk Singapura, yang saya yakini sebagian besar berasal dari dunia pendidikan, meski kesimpulan ini pun masih terlalu dini.

                          Bersama Dani, bertopi biru di deret depan, dan teman-temannya.

Puas di Pusat Kebudayaan Melayu, kami melanjutkan perjalanan menuju Perpustakaan Nasional Singapura. Dari kejauhan, nampak gedung tersebut menjulang tinggi dan megah. Saya berkata pelan pada Kang Gong “Saya mencari bagian buku anak-anak.” Kang Gong mengangguk. Saya ikuti rombongan, ternyata kami semua menuju bagian anak-anak.
Menuju pintu masuk bagian buku anak-anak, berderet bangku-bangku terisi penuh oleh manula yang sedang membaca. Sepertinya itu bagian koran dan majalah. Tepat di depan pintu bagian buku anak-anak, saya sempat tertegun. Dekorasinya sungguh sangat kanak-kanak. Dengan tema rumah pohon, pengunjung diajak berimajinasi sedang memasuki sebuah hutan buku, dengan rumah pohon tepat di tengah ruangan. Buku-buku berderet rapi, nampak beberapa balita saja yang ada di sana. Mungkin karena ini jam sekolah, pikir saya. Koleksi bukunya cukup banyak. Diklasifikasi berdasarkan usia, mulai dari buku yang diperuntukkan bagi bayi, balita, anak-anak, hingga buku parenting. Sofa warna-warni tampak di sana sini. Di beberapa sudut, komputer menyala siap membacakan cerita dalam buku-buku digital. Tepat di samping pintu masuk, beberapa keranjang disimpan di atas meja berisi buku-buku berlabel “New”. Bagi saya ini seperti surga.


“Pohon raksasa” di child area  perpustakaan nasional Singapura

Pagi keesokan harinya, saya menyelinap dari rombongan dan berjalan seorang diri hingga beberapa blok dari penginapan. Saya teringat kemarin sempat melihat sekolah di daerah itu. Akhirnya saya menemukan sebuah bangunan bertuliskan Stamford Primary School. Dengan penuh rasa penasaran, dikitarilah pagar bangunan luas itu, mencari pintu masuk. Yang saya temui hanya pintu pagar besi dengan sedikit lubang dan bergembok. Saya tidak yakin kalau itu pintu masuk karena lebih tampak seperti pintu belakang. Tapi saya tidak menemukan pintu lain. Melalui pagar kawat, iseng saya intip aktivitas mereka. Anak-anak bermain di lapangan, berlarian dan tampak gembira. Di bagian belakang bangunan, saya perkirakan sebagai area makan siang atau sejenis kantin. Dari luar tampak meja-meja panjang dan beberapa anak sedang asik bersantap. Dari lantai atas seorang anak melihat ke arah saya. Saya lambaikan tangan sambil tersenyum. Ia balas melambai kemudian berbalik malu-malu. Sempat terlintas dalam pikiran, jangan-jangan nanti saya dicurigai sebagai tukang culik. Oh, tidaaak!
Hingga petang menjelang ketika kami harus kembali ke tanah air, perjalanan kali ini memang belum memberikan kesimpulan apa pun tentang asal mula budaya tertib penduduk Singapura. Perlu kajian yang lebih serius dari sekedar jalan-jalan. Butuh rangkaian birokrasi yang saya yakin akan rumit untuk bisa masuk dan meminta izin melihat proses KBM di sekolah sana. Belum lagi kajian literatur yang harus saya baca supaya terkesan lebih ilmiah. Namun di luar itu semua, saya hanya bisa memperkirakan jika budaya tertib itu datang dari dua hal: pendidikan yang memunculkan kesadaran, serta sarana prasarana yang diberikan pemerintah.
Baiklah! Perjalanan solo yang tidak solo ini harus berakhir di suatu malam. Sekitar pukul 23.00 WIB kami mendarat selamat di Soekarno-Hatta. Setelah mengurus imigrasi dan bagasi yang bertambah jumlahnya, saya tutup perjalanan ini dengan memilih Damri untuk pulang dari pada dijemput suami di bandara. Ini awal long weekend, saya yakin akan macet sehingga lebih lama menunggu suami di bandara dibandingkan langsung menggunakan Damri. Suami setuju. Dan saat pertemuan kami di terminal bus Kayuringin, kepala saya serasa mau pecah karena banyak yang ingin segera diceritakan, atau karena ingin segera tidur. Me time berakhir, dan saya pun kembali pada kerinduan keluarga.***

Komentar